.Katib Aam PBNU KH. Ahmad Said Asrori. "Penulisan atau turots itu tidak harus berbahasa Arab, saya pikir," ungkap Katib Aam PBNU KH. Ahmad Said Asrori dalam acara bedah kitab di Hotel Sultan, Jakarta beberapa waktu lalu 7/2/2022. Turots, menurut Kiai Said Asrori, juga termasuk karya-karya terjemahan atas kitab-kitab bahasa Arab dalam bahasa Jawa termasuk juga Madura, Sunda dan bahasa Nusantara lainnya. Kitab tersebut biasanya dicetak dengan makna gandul dari kata perkata. Lengkap dengan tanda i’rabnya yang khas Nusantara. Seperti "mubtada" yang ditandai dengan "utawi", ataupun "khabar" yang ditandai dengan lafaz "iku". Apa yang diungkapkan oleh Kiai Said Asrori tersebut, memang benar adanya. Karya-karya terjemahan model demikian tak ubahnya karya-karya pinggiran. Jika mau jujur, nyaris tak mendapat perhatian yang signifikan dari para intelektual muslim Indonesia, bahkan yang berlatar belakang pesantren sekalipun. Signifikasi Karya Kitab Terjemahan Membaca ataupun mengkaji karya terjemahan yang demikian itu, seolah mengurangi kadar intelektualitas seorang cendekiawan. Menandakan penguasaan bahasa Arab yang lemah saat membaca karya-karya demikian. Namun, jika hendak berpikir lebih jauh, karya-karya yang dianggap pinggiran ini, memiliki signifikansi tersendiri. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dikemukakan dalam tulisan ini. Pertama, diakui atau tidak, karya-karya inilah yang menyentuh kalangan pembaca yang amat luas. Selain di kalangan pesantren sendiri biasanya untuk bacaan bagi santri pemula atau sebagai muqabalah/ pembanding, juga dibaca luas di masyarakat. Seperti di pengajian-pengajian kecil di musala, surau, majelis taklim dan sejenisnya. Atau kalangan santri mustami' yang hanya sebatas mampu membaca huruf Arab dan Pegon belaka. Baca juga Kitab “Tasripan” dan Potret Pesantren di Tatar Sunda Akhir Abad 19 Tidak ada statistik yang mengungkap seberapa besar pengakses bacaan demikian. Namun, menurut keterangan dari pemilik Toko Kitab Salim Nabhan Surabaya saat saya wawancara pada 2021 lalu, setiap tahunnya ada puluhan ribu eksemplar yang ia jual. "Per judul, sekali cetak minimal sepuluh ribu. Rata-rata satu tahun sudah habis," ungkapnya. Dari jumlah ini, bisa dibayangkan signifikansi karya-karya terjemahan tersebut, dalam membentuk pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia. Semakin luas pembacanya, tentu saja, semakin kuat pula pengaruhnya, bukan? Signifikansi kedua, tentu saja, karya-karya tersebut adalah rekaman sanad intelektual yang komprehensif. Sebagaimana diketahui, sanad tidak hanya sebatas si A belajar kepada si B. Namun, apa yang dipelajari dari si A ke si B itu sendirilah yang menjadi penting. Seandainya si A belajar kitab Fathul Mu'in kepada si B, maka sanad tersebut merangkum cara pembacaan, pemaknaan, penjelasan dan ihwal lainnya dari kitab tersebut yang ditransfer kepada si A. Dalam proses tersebut, yang kadang membutuhkan waktu lama, tak sedikit ada yang terlewat. Semisal, satu dua kata yang tak sempat termaknai. Atau ada satu dua kalimat yang terlewatkan pemahamannya. Tentu saja, kealpaan demikian dapat ditoleransi, apalagi si santri telah memiliki basis ilmu nahwu yang baik. Sehingga bisa membacanya sendiri. Namun, hasil pembacaan tersebut, apakah dijamin akan sama dengan apa yang sang guru ajarkan? Tak mesti. Di sinilah, karya-karya terjemahan dari para kiai-kiai kita ini, akan memberikan sanad pembacaan suatu kitab dengan seksama. Sedangkan signifikansi ketiga dari karya-karya tersebut adalah potret dari laku intelektual para kiai kita. Diakui atau tidak, karya-karya tersebut akan menjadi jejak kekaryaan yang tak bisa disepelekan. Bagaimanapun karya tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari biografi para kiai kita. Merawat Warisan Intelektual Ulama Nusantara Jika kita mengabaikan karya-karya terjemahan seperti ini, tentu saja kita akan kehilangan tambang emas intelektualisme para ulama Nusantara. Jangan sampai nantinya, ketika abai mengkompilasikan sedini mungkin, kelak kita akan terseok-seok mencarinya kembali. Potret hari ini menggambarkan hal tersebut. Bagaimana saat kita menelusuri karya-karya ulama Nusantara pada abad 19 hingga paruh pertama abad 20, begitu kesulitan. Bagai mengais jarum di tumpukan jerami. Berbeda misalnya dengan Martin Van Bruinessen, indonesianis asal Belanda itu, cukup mendatangi Perpustakaan KTLV Leiden saat meriset tentang kitab kuning di Indonesia. Di sana, para orientalis pendahulunya, LWC Van den Berg, rajin mengumpulkan berbagai kitab yang dikumpulkan dari pesantren-pesantren pada pertengahan abad 19. Pada periode mutakhir, hal serupa dengan Berg juga dilakukan oleh Sophia University. Kampus di Jepang ini, pada 2006, mengumpulkan sejumlah kitab cetak yang ditulis atau diterjemahkan oleh ulama di Asia Tenggara, kitab yang dicetak di Asia Tenggara dan kitab yang ditulis, diterjemah, atau disyarah oleh ulama Non-Asia Tenggara namun dicetak di Asia Tenggara. Hasil pengumpulan tersebut kemudian diteliti dan diterbitkan menjadi katalog berjudul "A Provisional Catalogue of Southeast Asian Kitabs of Sophia University" pada 2015. Tak kurang dari 1817 judul kitab yang berhasil didata. Baca juga Kyai Sahal Mahfudz, Kitab Anwar Al-Bashair dan Tradisi Literasi Pesantren Dari praktek ini, memantik keprihatinan penulis. Bagaimana mungkin orang Jepang demikian tergerak untuk mengumpulkan kekayaan intelektual ulama Nusantara, sedangkan kita masih acuh tak acuh. Akankah anak cucu kita, lima puluh tahun lagi, harus ke Jepang hanya untuk membaca karya-karya ulama kita dewasa ini, Sebagaimana kita harus melawat ke Leiden hanya untuk menelusuri karya-karya ulama terdahulu? Dari sinilah, penulis mulai mengumpulkan terbitan-terbitan sejenis. Saya mendatangi sejumlah toko kitab. Seperti toko kitab 65 di Pasar Rogojampi, Banyuwangi, Toko Kitab Salim Nabhan di Surabaya dan terakhir di Toko Kitab Menara Kudus di Yogyakarta. Alhamdulillah, sudah ada puluhan judul yang bisa penulis kumpulkan. Tak seberapa memang. Tapi, penulis optimis, seiring waktu, koleksi ini akan terus membesar. Dari puluhan koleksi tersebut, setelah penulis amati, ternyata ada sejumlah karya dari Kiai Ahmad Said Asrori. Di antaranya adalah terjemah bahasa Jawa dari Kitab Kifayatul Atkiya' Al-Miftah, Surabaya. Selain itu, juga ada kumpulan khutbah Jum'at berjudul As-Sa'diyah Al-Miftah, Surabaya. Karya-karya Kiai Said Asrori ini ternyata melanjutkan kiprah para pinisepuhnya. Di antaranya sang ayahanda sendiri; KH. Asrori Ahmad, Tempuran, Magelang. Nama terakhir ini, konon juga banyak melakukan penerjemahan atas kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Jawa. Produktifitasnya, menurut Kiai Said, setara dengan KH. Bisri Musthofa dan KH. Misbah Mustafa. "Tiga ini tidak ada tandingannya dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kutubul Qadimah," ujar Kiai Said Asrori. Beberapa judul karya Kiai Asrori Ahmad yang berhasil penulis kumpulkan dan kini menjadi koleksi Komunitas Pegon adalah Irsyadul Ibad Menara Kudus, Riyadus Sholihin Menara Kudus, dan Risalatul Muawanah Menara Kudus. Sidang pembaca yang terhormat, adakah yang juga memiliki kecenderungan untuk mengkoleksi kitab-kitab yang sama? Yuk sharing koleksi. Artikel pertama kali dimuat di Alif.
Menanggapiitu, Katib 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Akhmad Said Asrori berharap dan menyarankan masyarakat agar ketika sakit dapat berobat ke dokter secara medis. Setelah itu, datangi para kiai untuk minta didoakan supaya cepat diberikan kesembuhan. Baca Juga: Metode Ruqyah Aswaja Makin Diminati Warga NU
Pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Thullab, Tempuran, Magelang, KH. Ahmad Said Asrori. - Pesta demokrasi Pemilu legislatif dan Presiden-Wakil Presiden di Indonesia akan berlangsung bulan April mendatang. Kampanye demi kampanya telah dilaksanakan oleh dua belah kubu untuk menyita perhatian masyarakat. KH. Ahmad Said Asrori dalam sambutannya pada Konfercab bersama PCNU, IPNU dan IPPNU Magelang, mengajak kepada seluruh warga NU untuk memilih pemimpin yang sejalan dengan nilai-nilai luhur Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah. "Kami bersama dengan ini, mengajak kepada seluruh warga NU beserta badan otonom-otonomnya untuk ikut memenuhi hak dan kewajiban sebagai warga negara dengan penuh akhlakul karimah. Memenuhi hak dan kewajiban berdemokrasi, berpolitik dengan penuh akhlakul karimah," kata Kiai Said, di Pondok Pesantren Roudlotut Thullab, Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang, Ahad 03/03/2019. Kiai Said selaku tuan rumah sekaligus Rois Syuriyah PCNU mengatakan, warga NU tentu sudah menimbang, bagaimana menjadi nahdliyyin bertanggung jawab, berakhlak dan selalu mengedepankan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. "Yakni dalam menentukan pilihan-pilihannya, kita harus mampu menilai, mana yang sesuai dengan nilai-nilai kita sebagai warga Nahdlatul Ulama. Artinya sama dengan prinsip kita dalam beragama, berbangsa dan bernegara," jelas Kiai Said. Kiai Said berharap, khususnya di Kabupaten Magelang, warga NU memiliki kewajiban untuk memahami betul bagaimana para 'alim dan kiai dalam menanamkan doktrin kepada ummat dalam hal nasbul imamah memilih pemimpin. Dihadapan para peserta Konfercab, Kiai Said juga menyampaikan, NU merupakan ormas besar dengan gagasan dan cita-cita yang luhur, NU lahir dari dunia pesantren sehingga mewarisi tradisi klasik yang sangat kuat dengan mata rantai keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah SAW. ”NU selalu responsif terhadap dinamika perkembangan zaman karena memahami Islam sebagai agama yang shahih li kulli zaman wa makan,” jelasnya. Menurutnya, NU sebagai peletak dasar Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia yang memegang teguh prinsip Al muhafadzatu ala qadimish sholih wal akhdzu bil jadidil aslah’ senantiasa menghasilkan kader-kader yang melimpah sekaligus berusaha menjadikan Islam rahmah demi terciptanya dunia yang damai dan beradab. Turut hadir dalam Konferensi bersama tersebut, KH Miftakhul Akhyar Rais Aam PBNU, Perwakilan PWNU Jawa Tengah, Bupati Magelang, Kapolres Magelang AKBP Yudianto Adhi Nugroho, Jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah FORKOPIMDA, serta pengurus anak cabang dan ranting NU beserta Banom se-kabupaten Magelang. [
Dalamkesempatan yang sama, KH. Ahmad Izzudin,Lc.,M.Si selaku Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Magelang berharap penyuntikan vaksin Covid-19 tersebut dalam mencegah penularan virus Covid 19. "Semoga vaksinasi ini bisa memberikan hard imunity kepada jajaran Pengurus di PCNU Kabupaten Magelang.
Jakarta, NU Online Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU menyambut positif kehadiran Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama BUMNU di beberapa Pengurus Cabang atau Pengurus Wilayah di Indonesia. PBNU menyebut, peran pengurus cukup berkontribusi dalam mewujudkan kemandirian ekonomi Nahdliyin. Ketua PBNU, H Ishfah Abidal Aziz atau biasa disapa H Alex mengatakan, untuk mewujudkan kemandirian ekonomi NU, harus dimulai dari komitmen para pengurus. Dia mengingatkan, ada tiga kewajiban yang melekat pada pengurus NU, yakni taqwiyatul jamaah melakukan penguatan jamaah, himayatul jamaah melakukan perlindungan umat, dan tandhimul jamaah melakukan pengorganisasian. "Salah satunya bidang ekonomi. Bagaimana warga NU ini melakukan kekuatan dan kita lakukan penguatan pada bidang ekonomi. Oleh karena itu, salah satu parameter keberhasilan struktur NU mulai PB hingga Pengurus Anak Ranting, apakah pengurus mampu memberikan penguatan ekonomi NU, itu paling penting," kata H Alex kepada NU Online, Jumat 19/5/2023. Tidak hanya pada bidang ekonomi, penguatan jamaah juga berlaku pada aspek budaya, pendidikan dan aspek-aspek yang. Sementara himayatul jamaah, menurut H Alex, diartikan sebagai upaya menjaga umat dari berbagai ancaman atau bahaya. Dimulai dari bahaya ideologi, gerakan yang menyimpang, hingga bahaya narkoba. Sedangkan ketiga yaitu tandhimul jamaah atau menata organisasi dengan sebaik-baiknya. "Terkait kemandirian ekonomi, saya kira itu menjadi mandat pengurus. Pengurus harus memberikan nilai terhadap warga NU," tuturnya. Sebagaimana diketahui, kehadiran Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama BUMNU merupakan salah satu keputusan Muktamar Ke-34 NU di Lampung 2021. Kehadiran BUMNU dianggap penting sebagai wujud kemandirian ekonomi jamaah dan jam'iyah Nahdlatul Ulama di semua tingkatan. Meski belum merata ada pada struktur kepengurusan NU di seluruh Indonesia, BUMNU mulai tumbuh dan disambut positif oleh para pengurus tanfidziyah NU di semua level kepengurusan. Bahkan, ada beberapa PCNU yang sudah berkembang cukup signifikan, misalnya di PCNU Magelang, Jawa Tengah. Direktur BUMNU PCNU Kabupaten Magelang, Ahmad Sulistyo, mengatakan, BUMNU PCNU Magelang sudah berjalan selama 4 tahun, dengan jenis usaha yang cukup beragam. Selain itu, masing-masing unit usaha memiliki pengelolaan keuangan masing-masing serta menghasilkan keuntungan secara sendiri-sendiri. Sulistyo menambahkan, ada dua jenis usaha BUMNU yang dikelola oleh PCNU Magelang, pertama usaha dalam bidang ritel yakni NU Mart, Bank Nahdlatul Ulama, NU Klinik, dan Bus NUGo. Kedua dalam bidang grosir yakni penjualan barang-barang grosir. Sulistiyo menjelaskan, NU Mart merupakan usaha bidang ritel yang dikelola oleh warga NU dengan asistensi dari PCNU Magelang. Saat ini sudah ada 3 tempat yang sudah berjalan. Sedangkan Bank Nahdlatul Ulama, merupakan unit usaha bidang perbankan yang dikelola PCNU Magelang. Pengelolaan Bank NU dilakukan secara profesional dan menjadi satu-satunya bank milik NU di Indonesia. "Karena capaian ini, PCNU-PCNU seluruh Indonesia melakukan studi banding ke PCNU Magelang,” katanya. Selanjutnya, NU Klinik, yaitu usaha di bidang kesehatan yang menjadi unit bisnis warga NU. Saat ini sudah berdiri 3 klinik yang membantu dan memberikan pelayanan kesehatan untuk masyarakat di Kabupaten Magelang. Kemudian, Bus NUGo yaitu unit usaha di bidang angkutan umum yang melayani perjalanan pariwisata. Bus ini dikelola oleh PCNU Magelang dengan sistem sewa kepada para pengguna. "Saat ini kami punya 4 unit bus yang dikelola manajemen PCNU," tutur Sulistiyo. Keempat, NU Grosir, yaitu usaha grosir yang melayani penjualan barang-barang grosir. Subhan menyebut, dalam sistem perdagangan, agar suatu produk dapat sampai di tangan konsumen, harus ada campur tangan dari kegiatan grosir, sebab tidak mungkin, produsen secara langsung menuju ke konsumen. Sekretaris PCNU Kabupaten Magelang, Najib Chaqoqo, mengatakan meskipun capaian yang diraih oleh PCNU Magelang cukup terlihat, namun, pihaknya masih terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan, terutama mengenai manajemen dan sistem penataan BUMNU. Dia berharap, siapapun pengurus PCNU Magelang, BUMNU harus berjalan serta memberikan kontribusi untuk PCNU dan jamaah. "Jadi bukan karena figur periodisasi kepengurusan kami, tapi bisa dilanjutkan kepengurusan periode selanjutnya,” ujarnya. Perkembangan BUMNU, lanjut Chaqoqo, tidak terlepas dari para pengurus PCNU yang selalu mengedepankan profesionalitas dalam hal pengelolaan unit usaha, serta mengontrol seluruh keuntungan yang didapatkan dari usaha-usaha tersebut. Selain itu, kekompakan juga menjadi kunci keberhasilan PCNU Magelang dalam mengembangkan usaha organisasi. Kontributor Abdul Rahman Ahdori Editor Kendi Setiawan
Karyakarya Kiai Said Asrori ini ternyata melanjutkan kiprah para pinisepuhnya. Di antaranya sang ayahanda sendiri; KH. Asrori Ahmad, Tempuran, Magelang. Nama terakhir ini, konon juga banyak melakukan penerjemahan atas kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa Jawa. Produktifitasnya, menurut Kiai Said, setara dengan KH. Bisri Musthofa dan KH. Misbah Mustafa.
Magelang, NU Online Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Magelang KH Said Asrori meminta Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama PWNU Jawa Timur melaporkan H Mahrus Ali, penulis buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik”, ke pihak kepolisian. Pasalnya, buku yang ditulisnya dengan judul bombastis itu mengandung unsur kebohongan publik. Selain itu, buku tersebut dinilai melecehkan amal ibadah yang selama ini dijalani warga NU. Apalagi saat ini sudah terbit buku kedua berjudul “Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosah dan Ziarah Wali” yang lebih tebal dan lebih luks. Dikatakan Kiai Said Asrori, berdasarkan pengakuan pengurus Ranting NU Sidomukti, Kebomas, Gresik yang menjadi tempat kelahiran penulisnya, H Mahrus bukanlah orang NU. Pengakuan serupa diberikan oleh pengurus MWC NU Waru, Sidoarjo, tempat H Mahrus saat ini tinggal. Keduanya memberikan kesaksian lengkap dengan kop dan stempel jam’iyah. “Bukan orang NU mengaku sebagai mantan kiai NU, itu kan jelas-jelas kebohongan publik,” kata Kiai Said di Magelang, Ahad 24/2. Putra KH Asrori Ahmad itu mengaku sudah menyampaikan keluhannya itu pada Ketua PWNU Jawa Timur Dr H Ali Maschan Moesa, MSi secara khusus. Namun sayang, ia belum mendapatkan jawaban yang menggembirakan. Tampaknya Pak Ali belum melihat hal itu sebagai persoalan yang serius dan perlu ditangani dengan segera. Munculnya ide untuk membawa persoalan itu ke meja hijau, menurut pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thullab Wonosari, Tempuran, Magelang itu karena semata-mata demi kebaikan bersama dan pesoalannya tidak semakin membesar. “Daripada warga NU yang marah mengamuk sendiri-sendiri,” tuturnya memberikan alasan. Di sisi lain, untuk memberikan pelajaran kepada penulis lain agar tidak melakukan hal yang sama di masa mendatang. “Kalau yang seperti itu dibiarkan, bukan tidak mungkin akan muncul buku yang lebih parah di waktu mendatang,” keluh alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri itu. Ia mengaku bersyukur dengan munculnya buku bantahan yang disusun oleh LBM PCNU Jember. Buku yang diberi judul "Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik" itu sangat membantu dirinya untuk menenangkan warga NU di daerahnya. Dengan adanya buku itu, ia tidak perlu susah-susah lagi menjelaskan satu persatu persoalan yang sedang dihadapi. Namun, dikatakannya, kebohongan publik dan pelecehan tidak cukup hanya diselesaikan dengan menerbitkan buku bantahan sebagai penyeimbang. “Sebaiknya persoalan itu dibawa ke polisi, agar menjadi pelajaran bagi semuanya. Melecehkan orang itu ada risikonya,” tegas sepupu Gus Mus itu. sbh
gussaid kh achmad said asrori di puri tuk songo, cacaban, kota magelang dalam rangka pengajian isra' mi'raj 2017selasa, 9 mei 2017
Home Jawa Tengah & DIY Kamis, 11 Agustus 2022 - 1048 WIBloading... Pengasuh Ponpes Roudlotuttulab Tempuran Magelang KH Said Asrori. Foto/IST A A A MAGELANG - Pengasuh Ponpes Roudlotuttulab Tempuran Magelang KH Said Asrori mengapresiasi langkah tegas jajaran Polri di bawah pimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang telah menetapkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka dalam kasus meninggalnya Brigadir J . Ini merupakan langkah besar Polri dalam penegakkan hukum."Kami mengapresiasi langkah tegas dari Kapolri dan jajaran dalam menangani kasus yang melibatkan perwira Polri ini. Kapolri dan jajarannya telah menjawab pertanyaan masyarakat sehingga bisa teridentifikasi siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut," kata KH Said Asrori yang juga sebagai Katib Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama NU, Kamis 11/8/2022. Baca Juga Said Asrori berharap, Kapolri beserta jajarannya bisa menuntaskan kasus ini sehingga masyarakat bisa mendapat jawaban yang pasti atas penanganan kasus ini. "Semoga Kapolri beserta jajarannya senantiasa diberi kekuatan lahir dan batin, sehingga bisa menuntaskan kasus ini. Sehingga masyarakat bisa diberikan jawaban yang pasti dan tuntas," ujarnya. Baca Juga Dirinya berharap bahwa kasus ini bisa segera selesai sekaligus menjadi pelajaran bagi semua pihak. "Kita harap segera tuntas. Semuanya kembali normal dan Polri kembali konsentrasi dalam melayani masyarakat. Semoga kasus internal ini bisa segera selesai," tuturnya. don kapolri listyo sigit prabowo ferdy sambo brigadir j Baca Berita Terkait Lainnya Berita Terkini More 22 menit yang lalu 23 menit yang lalu 26 menit yang lalu 27 menit yang lalu 42 menit yang lalu 50 menit yang lalu
. 14 311 99 44 147 352 421 35
kh ahmad said asrori magelang